�Pengaruh Permasalahan Sosial dan Lingkungan terhadap Stabilitas dan Dinamika Masyarakat Indonesia: Pengaruh modernisasi dan liberalisme terhadap kehidupan masyarakat muslim di Indonesia�
Oleh : Zaenul Stiyawan
Abstrak
Modernisasi di Indonesia adalah salah satu dampak dari arus globalisasi yang saat ini telah menyebar di seluruh dunia. Salah satu dampak negatifnya adalah masuknya berbagai paham ideologi yang kurang tepat dengan budaya indonesia, salah satunya adalah paham liberal yang saat ini secara tidak sadar telah banyak merongrong jati diri bangsa Indonesia. Indonesia adalah negara plural yang memiliki jumlah penduduk muslim terbesar didunia. Idealnya sebagai negara yang di dominasi oleh masyarakat muslim, akan menolak ideologi liberal yang menuntut kebebasan sebebas-bebasnya kepada setiap individu. Sebab muslim sangat menjunjung tingi nilai gotong royong dan kebersamaan. Bukti nyata pengaruh paham liberal adalah berkembangya jaringan islam liberal yang di Indonesia. Hal ini tentunya perlu dikaji lebih mendalam agar diketahui secara jelas pengaruh liberalisme di Indonesia terutama terhadap perkembangan Agama islam.
Kata kunci : modernisasi, liberalisme, Islam
abstract
Modernization inIndonesia is one of the effects of globalization, which has been spread around the world. One of the negative impacts is the inclusion of various understandings of ideology is less precise with Indonesian culture, one of which is liberalism that is now inadvertentlyundermined many Indonesiannational identity. Indonesia is a pluralistic countrywhich has the largest Muslim population in the world. Ideally, as the country is dominated by the Muslim community, will reject the liberalideology that demands freedom freely to each individual. Because Muslimsare very respecting the values ??of mutual cooperation and togetherness. The real proof is the influence ofthe liberal network berkembangya liberal Islamin Indonesia. This of course needs to be studied more in depth in order to know clearlythe influence of liberalism in Indonesia, especially on the development of the Islamic religion.
Keywords: modernization, liberalism, Islam
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini banyak permasalahan sosial yang timbul akibat modernisasi yang berkembang di Indonesia. Indonesia sebagai negara berkembang yang menuju kepada negara maju tentunya mengalami masa transisi dimana berbagai macam permasalahan muncul di tengah-tengah modernisasi tersebut. Salah satunya adalah masalah ketidaksiapan mental masyarakat Indonesia yang cenderung mengadopsi secara mentah budaya-budaya yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Salah satu permasalahan yang muncul akibat modernisasi adalah pengaruh paham liberal yang dibawa oleh orang-orang barat dan memengaruhi kehidupan masyarakat diberbagai bidang kehidupan. Masyarakat indonesia yang didominasi oleh penduduk muslim idealnya menolak masuknya paham liberal di Indonesia. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa untuk membendung pengaruh paham liberal bukanlah perkara yang mudah mengingat kemajuan teknologi yang luar biasa. Sebab demikian, masyarakat muslim di Indonesiapun tanpa disadari telah banyak menerapkan kebiasaan-kebiasaan paham liberal dalam kehidupan sehari-hari. Contoh : ketika lebaran, budaya saling berkunjung dan memberi makanan mulai luntur, justru kebanyakan masyarakat ketika lebaran bersaing untuk memamerkan baju atau perhiasan mereka. Itu artinya budaya bergotong royong dan kekeluargaan di Indonesia sudah mulai tergerus sedikit demi sedikit oleh liberalisasi yang terjadi di Indonesia. Yang terjadi saat ini masyarakat Muslim hanya bersaing dan bersaing untuk kesejahteraan masing-masing. Hal ini disebabkan kurangnya kesiapan mental masyarakat muslim terhadap paham baru yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini semakin hari tanpa disadari masyarakat muslim akan berkiblat pada paham liberal. Maka dari itulah disusun paper mengenai �Pengaruh Pengaruh liberalisme terhadap kehidupan masyarakat muslim di Indonesia�.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP MODERNISASI
Konsep modernisasi dalam arti khusus yang di sepakati teoritisi modernisasi di tahun 1950-an dan tahun 1960-an, didefinisikan dalam tiga cara : historis, relatif, dan analisis.
Menurut teori historis, modernisasi sama dengan westernisasi atau amerikanisasi. Eisenstadt mengatakan : � secara historis modernisasi adalah proses perubahan menuju tipe sistem sosial, ekonomi, dan politik yang telah maju di eropa barat dan amerika utara dari abad ke-17 hingga 19 dan kemudian menyebar ke negara eropa lain dan dari abad ke-19 dan ke-20 kenegara Amerika selatan sampai Asia.� Menurut pengertian relatif, modernisasi berarti upaya yang bertujuan untuk menyamai standar yang dianggap modern baik oleh rakyat banyak maupun elite penguasa. Definisi analisis lebih melukiskan masyarakat modern dengan maksud untuk ditanamkan dalam masyarakat tradisional atau pra-modern. (piotr Sztompka, Sosiologi perubahan sosial, 2007 hal : 152-153).
Modernisasi merupakan wujud dari proses perubahan sosial yang didalamnya membawa ideologi-ideologi modern termasuk ideologi liberal. Hal ini berkaitan dengan konsep dasar perubahan sosial yaitu :
a. Perbedaan
b. Pada waktu berbeda
c. Di antara sistem sosial yang sama
(piotr Sztompka, Sosiologi perubahan sosial, 2007 hal : 2)
Konsep dasar tersebut jika dikaitkan dengan modernisasi maka perbedaan antara zaman sekarang dan zaman lampau jelas menonjol terutama dibidang ilmu dan teknologi. Dengan adanya perbedaan ilmu dan teknologi maka akan mendorong terjadinya perubahan sosial. Selanjutnya pada waktu yang berbeda, artinya perubahan sosial tidak mungkin terjadi secara instan pada waktu yang sama. Lalu di antara sistem sosial yang sama artinya sistem sosial yang berlaku dimasyarakat tetap berlaku sama(peradaban yang sama).
B. AGAMA, MODERNITAS, LIBERALISME, DAN ISLAM
Setiap analis tentang kaitan antara agama dan modernitas dilihat dari sudut pandang agama, cenderung bersifat apologis. Sikap apologis itu dalam urusan umum sering menempatkan agama tidak ada bedanyaseperti menmpatkan agama sebagai suatu alat untuk membenarkan semua perilaku kemodernan di satu pihak, atau bahkan di lain pihak menganggap agama sebagai �palu godam � untuk mengutuk apa saja yang berbau modern. Kedua sikap ini sangat merendahkan agama serta sekaligus memantulkan kesan ketidakberdayaan agama dalam menghadapi gelombang besar transformasi yang menyertai peradaban modern.dilihat dari perspektif islam terjadinya aliensi sebagai bagian dari modernitas sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan merupakan sesuatu yang wajar ( ishomuddin, pengantar sosiologi Agama, 2002, hal: 78).
Arus Modernitas juga membawa berbagai paham ideologi di dalamnya salah satunya paham Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama.
Pada masa abbasiyyah, liberalisme juga muncul dinegara islam. Maka dari itu pastiya ada perbedaan, antara liberalisme di Indonesia dan pada masa abbasiyyah. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.
Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas.
1. Pokok-pokok Liberalisme
Ada tiga hal yang mendasar dari Ideolog Liberalisme yakni Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property). Dibawah ini, adalah nilai-nilai pokok yang bersumber dari tiga nilai dasar Liberalisme tadi yaitu:
Pertama, Kesempatan yang sama. (Hold the Basic Equality of All Human Being). Bahwa manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang kehidupan baik politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Namun karena kualitas manusia yang berbeda-beda, sehingga dalam menggunakan persamaan kesempatan itu akan berlainan tergantung kepada kemampuannya masing-masing. Terlepas dari itu semua, hal ini (persamaan kesempatan) adalah suatu nilai yang mutlak dari demokrasi.
Dengan adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, dimana setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara diskusi dan dilaksanakan dengan persetujuan � dimana hal ini sangat penting untuk menghilangkan egoisme individu.( Treat the Others Reason Equally).
Pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak rakyat.(Government by the Consent of The People or The Governed)
Kedua, Berjalannya hukum (The Rule of Law). Fungsi Negara adalah untuk membela dan mengabdi pada rakyat. Terhadap hal asasi manusia yang merupakan hukum abadi dimana seluruh peraturan atau hukum dibuat oleh pemerintah adalah untuk melindungi dan mempertahankannya. Maka untuk menciptakan rule of law, harus ada patokan terhadap hukum tertinggi (Undang-undang), persamaan dimuka umum, dan persamaan sosial. Yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu.(The Emphasis of Individual). Negara hanyalah alat (The State is Instrument). Negara itu sebagai suatu mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar dibandingkan negara itu sendiri. Di dalam ajaran Liberal Klasik, ditekankan bahwa masyarakat pada dasarnya dianggap, dapat memenuhi dirinya sendiri, dan negara hanyalah merupakan suatu langkah saja ketika usaha yang secara sukarela masyarakat telah mengalami kegagalan.
Dalam liberalisme tidak dapat menerima ajaran dogmatisme (Refuse Dogatism). Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat dari John Locke (1632 � 1704) yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu didasarkan pada pengalaman. Dalam pandangan ini, kebenaran itu adalah berubah.
2. Dua Masa Liberalisme
Liberalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan kebebasan. Ada dua macam Liberalisme, yakni Liberalisme Klasik dan Liberallisme Modern. Liberalisme Klasik timbul pada awal abad ke 16. Sedangkan Liberalisme Modern mulai muncul sejak abad ke-20. Namun, bukan berarti setelah ada Liberalisme Modern, Liberalisme Klasik akan hilang begitu saja atau tergantikan oleh Liberalisme Modern, karena hingga kini, nilai-nilai dari Liberalisme Klasik itu masih ada. Liberalisme Modern tidak mengubah hal-hal yang mendasar ; hanya mengubah hal-hal lainnya atau dengan kata lain, nilai intinya (core values) tidak berubah hanya ada tambahan-tanbahan saja dalam versi yang baru. Jadi sesungguhnya, masa Liberalisme Klasik itu tidak pernah berakhir
Dalam Liberalisme Klasik, keberadaan individu dan kebebasannya sangatlah diagungkan. Setiap individu memiliki kebebasan berpikir masing-masing � yang akan menghasilkan paham baru. Ada dua paham, yakni demokrasi (politik) dan kapitalisme (ekonomi). Meskipun begitu, bukan berarti kebebasan yang dimiliki individu itu adalah kebebasan yang mutlak, karena kebebasan itu adalah kebebasan yang harus dipertanggungjawabkan. Jadi, tetap ada keteraturan di dalam ideologi ini, atau dengan kata lain, bukan bebas yang sebebas-bebasnya.
3. Pemikiran Tokoh Klasik dalam Kelahiran dan Perkembangan Liberalisme Klasik
Tokoh yang memengaruhi paham Liberalisme Klasik cukup banyak � baik itu dari awal maupun sampai taraf perkembangannya. Berikut ini akan dijelaskan mengenai pandangan yang relevan dari tokoh-tokoh terkait mengenai Liberalisme Klasik.
A. Martin Luther dalam Reformasi Agama
Gerakan Reformasi Gereja pada awalnya hanyalah serangkaian protes kaum bangsawan dan penguasa Jerman terhadap kekuasaan imperium Katolik Roma. Pada saat itu keberadaan agama sangat mengekang individu. Tidak ada kebebasan, yang ada hanyalah dogma-dogma agama serta dominasi gereja. Pada perkembangan berikutnya, dominasi gereja dirasa sangat menyimpang dari otoritasnya semula. Individu menjadi tidak berkembang, kerena mereka tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang oleh Gereja bahkan dalam mencari penemuan ilmu pengetahuan sekalipun. Kemudian timbullah kritik dari beberapa pihak � misalnya saja kritik oleh Marthin Luther; seperti : adanya komersialisasi agama dan ketergantungan umat terhadap para pemuka agama, sehingga menyebabkan manusia menjadi tidak berkembang; yang berdampak luas, sehingga pada puncaknya timbul sebuah reformasi gereja (1517) yang menyulut kebebasan dari para individu yang tadinya �terkekang�.
B. John Locke dan Hobbes; konsep State of Nature yang berbeda
Kedua tokoh ini berangkat dari sebuah konsep sama. Yakni sebuah konsep yang dinamakan konsep negara alamaiah" atau yang lebih dikenal dengan konsep State of Nature. Namun dalam perkembangannya, kedua pemikir ini memiliki pemikiran yang sama sekali bertolak belakang satu sama lainnya. Jika ditinjau dari awal, konsepsi State of Nature yang mereka pahami itu sesungguhnya berbeda. Hobbes (1588 � 1679) berpandangan bahwa dalam ��State of Nature��, individu itu pada dasarnya jelek (egois) � sesuai dengan fitrahnya. Namun, manusia ingin hidup damai. Oleh karena itu mereka membentuk suatu masyarakat baru � suatu masyarakat politik yang terkumpul untuk membuat perjanjian demi melindungi hak-haknya dari individu lain dimana perjanjian ini memerlukan pihak ketiga (penguasa).
Sedangkan John Locke (1632 � 1704) berpendapat bahwa individu pada State of Nature adalah baik, namun karena adanya kesenjangan akibat harta atau kekayaan, maka khawatir jika hak individu akan diambil oleh orang lain sehingga mereka membuat perjanjian yang diserahkan oleh penguasa sebagai pihak penengah namun harus ada syarat bagi penguasa sehingga tidak seperti �membeli kucing dalam karung�. Sehingga, mereka memiliki bentuk akhir dari sebuah penguasa/ pihak ketiga (Negara), dimana Hobbes berpendapat akan timbul Negara Monarkhi Absolute sedangkan Locke, Monarkhi Konstitusional.
Bertolak dari kesemua hal tersebut, kedua pemikir ini sama-sama menyumbangkan pemikiran mereka dalam konsepsi individualisme. Inti dari terbentuknya Negara, menurut Hobbes adalah demi kepentingan umum (masing-masing individu) meskipun baik atau tidaknya Negara itu kedepannya tergantung pemimpin negara. Sedangkan Locke berpendapat, keberadaan Negara itu akan dibatasi oleh individu sehingga kekuasaan Negara menjadi terbatas � hanya sebagai �penjaga malam� atau hanya bertindak sebagai penetralisasi konflik.
C. Adam Smith
Para ahli ekonomi dunia menilai bahwa pemikiran mahzab ekonomi klasik merupakan dasar sistem ekonomi kapitalis. Menurut Sumitro Djojohadikusumo, haluan pandangan yang mendasari seluruh pemikiran mahzab klasik mengenai masalah ekonomi dan politik bersumber pada falsafah tentang tata susunan masyarakat yang sebaiknya dan seyogyanya didasarkan atas hukum alam yang secara wajar berlaku dalam kehidupan masyarakat. Salah satu pemikir ekonomi klasik adalah Adam Smith (1723-1790). Pemikiran Adam Smith mengenai politik dan ekonomi yang sangat luas, oleh Sumitro Djojohadikusumo dirangkum menjadi tiga kelompok pemikiran.
Pertama, haluan pandangan Adam Smith tidak terlepas dari falsafah politik, kedua, perhatian yang ditujukan pada identifikasi tentang faktor-faktor apa dan kekuatan-kekuatan yang manakah yang menentukan nilai dan harga barang. Ketiga, pola, sifat, dan arah kebijaksanaan negara yang mendukung kegiatan ekonomi ke arah kemajuan dan kesejahteraan mesyarakat. Singkatnya, segala kekuatan ekonomi seharusnya diatur oleh kekuatan pasar dimana kedudukan manusia sebagai individulah yang diutamakan, begitu pula dalam politik.
4. Liberalisme di Indonesia dan pengaruhnya terhadap Islam di Indonesia
Banyak orang menyangka, Jaringan Islam liberal muncul belakangan ini akibat kemunculan kelompok-kelompok Islam fundamentalis di Indonesia. Buktinya, ketika pemerintah Orde Baru masih berkuasa, belum ada Jaringan Islam Liberal. Demikian pula dengan kelompok-kelompok Islam fundamentalis, pada waktu itu belum menjamur atau, katakanlah, belum muncul dan tersebar seperti sekarang ini.
Jika dicermati, anggapan itu, ternyata, tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya pula salah. Dalam sejarah, pemikiran Islam liberal, kalau istilah ini bisa dan boleh dipakai, selalu muncul sebagai reaksi atas kemunculan pemikiran Islam fundamentalis. Semakin menjamur kelompok-kelompok Islam fundamentalis, semakin kuat pula dorongan untuk mengorganisasikan jejaring Islam liberal.Menariknya, seolah-olah kemunculan Islam liberal di Indonesia terjadi setelah adanya persentuhan secara intens dengan Barat dan demokrasi yang ada di sana, sedangkan Islam fundamentalis muncul di Indonesia setelah terjadi persentuhan dengan Arab dan puritanisme di sana. Artinya, kemunculan masing-masing disebabkan oleh pengaruh yang datang dari luar, bukan dua hal yang murni dari Indonesia.
Dalam satu resensi terhadap buku Wajah Liberal Islam Di Indonesia (Teater Utan Kayu dan Jaringan Islam Liberal, Jakarta, 2002), Daniel Lev, salah seorang pengamat Indonesia mengatakan, ada beberapa sebab di balik kemunculan pandangan Islam liberal di Indonesia di awal milenium kedua ini dan sulit untuk menjawab kenapa sekarang. Yang jelas, kemunculan yang dimaksud adalah hasil rangkaian panjang pergulatan pemikiran Islam di Indonesia. Sebab-sebab pendorong kemunculan itu pun tergolong ke dalam �kebetulan-kebetulan sejarah� yang sulit untuk diprediksi.
Kordinator Jaringan Islam Liberal, Ulil Abshar Abdalla, ketika diwawancarai Tempo terkait tulisan-tulisannya tentang wacana Islam liberal di media-media massa, mengakui, pemikiran dan kritiknya selama ini ditujukannya kepada kelompok-kelompok Islam radikal di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, radikalisme Islam di Indonesia mulai bangkit ketika reformasi digulirkan pada 1998 yang lalu. Sejak saat itu, kelompok-kelompok Islam radikal bermunculan. Masing-masing menyeru agar umat Islam di Indonesia menegakkan syariat Islam. Oleh sebagian orang, mereka disebut dengan Islam fundamentalis.
Albert Hourani adalah salah seorang pengajar di Oxford�s Middle East Centre. Ia banyak mengkaji dan menulis tentang Timur Tengah. Ketika menulis Arabic Thought in the Liberal Age 1798 � 1939, ia menegaskan, dalam masyarakat Arab era liberal pernah muncul dan hidup selama beberapa waktu, sebelum kemudian tenggelam dan mengalami pertempuran sengit yang tak selesai-selesai sampai sekarang.
Pemikiran-pemikiran Islam yang liberal, menurutnya, didorong pertama kali pada tahun 1798. Tahun ini adalah tahun ketika pasukan Napoleon Bonaparte menginjakkan kaki di Mesir. Dunia Arab kemudian menyaksikan era liberal yang ditandai dengan berkembangnya respon yang positif terhadap kemajuan Barat. Indutrialisasi, rasionalisasi, dan modernisasi adalah pilar-pilar kehidupan Barat yang menjadi perhatian bersama sebagian besar orang-orang Arab. Bagi mereka, ketiga pilar itu penting untuk kehidupan manusia.
Dalam semangat seperti itu, para pemikir muslim dan non-muslim bersama-sama mengadakan dialog secara bebas. Mereka tidak merasa khawatir untuk berlomba-lomba mengekspresikan secara bebas pemahaman mereka terhadap agama dan budaya di tengah-tengah masyarakat Arab. Berbagai wacana liberal silih berganti memenuhi tahun-tahun itu. Meski beberapa tokoh pemikir di antara mereka dikafirkan oleh tokoh-tokoh agama waktu itu, semangat kebebasan berpikir liberal tidak surut di antara mereka.
Era liberal seperti itu baru berakhir pada 1939. Selama rentang 1798 � 1939, era itu dihuni oleh tiga generasi pemikir. Generasi pertama muncul dan mewarnai pemikiran-pemikiran pada 1830 � 1870. Mereka berpikir untuk menjawab pertanyaan �Mengapa dunia Barat maju?� dan �Mengapa pula dunia Arab dan Islam mundur?�. Dari pertanyaan-pertanyaan itu, muncul beberapa pemikir yang mencoba memberi jawab. Di antara mereka yang terkenal adalah Rifa�ah Badawi Rafi� Ath-Thahthawi (1801 � 1873), Khairuddin Pasya At-Tunisi (1825 (?) � 1889), Faris Asy-Syidyaq (1804 � 1887) dan Butrus Al-Bustani (1819 � 1883).
Generasi kedua muncul pada rentang 1870 � 1900. Mereka mulai muncul dengan beberapa wacana yang lebih berani. Soal ketertinggalan Arab dan Islam dari Barat masih dibicarakan oleh generasi ini. Mereka juga memikirkan rasionalisme Barat yang perlu diterapkan dalam menjalankan Islam. Artinya, akal perlu dipakai untuk menafsirkan Al-Qur�an dan Hadits. Selain itu, wacana yang mulai muncul adalah masalah persamaan gender. Pada rentang waktu inilah, dibahas isu-isu emansipasi wanita di tengah-tengah masyarakat Arab pada umumnya dan masyarakat muslim secara khusus. Di antara pemikir-pemikir generasi kedua ini adalah Jamaluddin Al-Afghani (1839 � 1897), Muhammad Abduh (1848 � 1905), dan Qasim Amini (1865 � 1908).
Generasi ketiga merentang pada 1900 � 1939. Rentang ini adalah puncak era liberal di dunia Arab sekaligus menandai akhir era itu. Berbagai wacana liberal muncul dan dipikirkan. Namun, tema tentang kekhalifahan Islam (Apakah kekhalifahan Islam perlu bagi masyarakat Arab dan Islam?) adalah yang sering mendatangkan perdebatan sengit di antara mereka. Memasuki dasawarsa 1920-an, wacana mulai mengerucut menjadi wacana-wacana politis. Muncul isu-isu tentang nasionalisme, baik itu nasionalisme Arab, nasionalisme Turki atau bahkan nasionalisme Mesir. Keadaan ini kemudian diikuti wacana-wacana yang bersifat fundamental; mereka mulai meninggalkan upaya-upaya rasionalisasi dan modernisasi dalam beragama. Di antara tokoh-tokoh pemikir pada generasi ketiga adalah Muhammad Rasyid Ridha (1865 � 1935), Ali Abdurraziq (1888-1966), dan Thaha Husain (1889 � 1973).
Akhir generasi ketiga era liberal itu bukan berarti matinya pemikiran liberal dalam Islam selama-lamanya. Kemunculan gerakan Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jamaah Takfir wal Hijrah, dan juga negara Israel adalah beberapa sebab signifikan yang mendorong kebangkitan kembali pemikiran liberal di dunia Arab dan terkhusus lagi di tengah-tengah kaum muslimin di dunia. Tampil dengan corak yang lebih baru, era liberal yang kedua dimulai ketika negara-negara Arab kalah dalam Perang Tujuh Hari melawan Israel pada 1967.
Yang jelas, setelah kekalahan itu, muncul tulisan-tulisan dengan semangat yang sama ketika era liberal pertama berlangsung. Di antara nama terkenal yang membawa semangat ini adalah Zaki Najib Mahmud, Najib Mahfouz, Nawal el Sadawi, Hassan Hanafi, Muhammad Arkoun, Adonis, Nashr Hamid Abu Zaid, dan Khalid Abul Fadhl. Pemikiran-pemikiran mereka menyebar ke negara-negara Islam seperti Indonesia. Tulisan-tulisan mereka dikaji dalam diskusi-diskusi, bahkan kadang kala beberapa pemikir itu pun diundang untuk berbicara langsung.
Di Indonesia sendiri, menurut Ulil Abshar Abdalla, tradisi liberal sebenarnya sudah ada di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Sejak 1980-an, banyak isu-isu sensitif dalam Islam yang dipecahkan oleh NU dengan tidak biasa. Mulai dari Pancasila sebagai asas tunggal, bunga bank, bank konvensional, sampai ke isu insklusivisme Islam Indonesia. Wajar, jika citra NU sebagai organisasi Islam tradisionalis sudah lama, kiranya, harus ditinggalkan. Sejak 1970-an, mereka sudah dapat dikata mengisi posisi yang pernah ditempati Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) pada 1920-an dulu. Greg Burton, penulis biografi Gus Dur, malah yakin, posisi sebagai kelompok Islam konservatif sekarang ini justru dipegang oleh Muhammadiyah dan Persis. istilah Islam liberal sendiri muncul pertama kali waktu Greg Barton menyebut istilah itu dalam bukunya, Gagasan Islam Liberal di Indonesia. Islam liberal yang muncul dua tahun setelah itu, ternyata, mampu bertahan lama dan menjadi wadah diskusi yang aman antara mereka. Dari diskusi-diskusi yang terjadi, tergagaslah keinginan untuk membentuk suatu wadah yang bernama Jaringan Islam Liberal.
Seiring tahun-tahun yang berlalu, wadah yang dimaksud berkembang dan mendapat simpati dari banyak pihak di dalam dan luar negeri, baik dari kalangan muslim sendiri maupun kalangan non-muslim. Mereka memiliki kegiatan yang beragam. Diskusi-diskusi, penerjemahan dan penerbitan buku-buku. Mereka yang tergabung ke dalam Jaringan Islam Liberal pun banyak menuangkan pemikiran-pemikiran mereka ke berbagai media massa.
Meski Islam fundamentalis, yang pada masa Orde Baru sering disebut dengan kelompok ekstrem kanan, sudah ada sejak dulu, kemunculannya dua belas tahun belakangan ini memberi warna tersendiri dalam sejarah Islam di Indonesia
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Konsep modernisasi dalam arti khusus yang di sepakati teoritisi modernisasi di tahun 1950-an dan tahun 1960-an, didefinisikan dalam tiga cara : historis, relatif, dan analisis yang pada intinya modernisasi adalah proses menuju kepada era yang lebih maju untuk mencapai standar kehidupan yang lebih baik. Arus modernisasi tentunya membawa berbagai paham ideologi. Salah satunya adalah ideologi liberal yang mengutamakan kebebasan dan mengutamakan hak setiap individu. Liberalisme di indonesia juga memengaruhi peradaban Islam di Indonesia. Salah satu bukti nyatanya adalah munculnya berbagai paham Islam fundamentalis di Indonesia. Munculnya Islam fundamentalis membawa dampak positif dan negatif. Salah satu dampak positif adalah keutamaan kebebasan dan hak individu namun memiliki dampak negatif yaitu lunturnya nilai-nilai toleransi, kegotong royongan maupun kekeluargaan.
B. Saran
Indonesia adalah negara dengan dominasi masyarakat muslimnya seharusnya mampu meminimalisir pengaruh liberal terhadap muslim sendiri agar tidak muncul paham islam radikal atau fundamentalis yang mampu menimbulkan perpecahan di Negeri ini. Jati diri Indonesia adalah pancasila bukan liberal.
DAFTAR PUSTAKA
szompka, piotr. 2002. Sosiologi prubahan sosial. Jakarta: prenada
Ishomuddin. 2002. Pengantar sosiologi agama. Jakarta Selatan: Ghalia Indonesia
Lev, daniel. 2002. Wajah Liberal Islam Di Indonesia. Jakarta: JIL